Uang Rp.1000 jadi Rp.1 ?
Kementerian Keuangan menyatakan ada kekhawatiran masyarakat
terkait rencana redenominasi atau penyederhanaan mata uang rupiah yang akan
dilakukan. Masyarakat khawatir terjadinya inflasi berlebih. Namun Kemenkeu
sudah menyiapkan siasat. Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus
Suprijanto mengatakan, kebijakan redenominasi rupiah yang rencananya bakal
dilakukan mulai 2014 bukanlah kebijakan sanering yang pernah dilakukan saat
pemerintahan Presiden Soekarno.
"Redenominasi" merupakan penyederhanaan cara
penulisan dengan menghilangkan 3 digit, jutaan jadi ribuan tanpa mengurangi
daya beli harga terhadap nilai rupiah untuk barang atau jasa. Harga mengikuti.
Beda dengan sanering, nilai uang dipotong tidak diikuti harga barang sehingga
daya beli turun," jelas Agus saat ditemui di kantornya,
Agus menyatakan, langkah antisipasi yang disiapkan untuk
mencegah inflasi tinggi saat redenominasi sudah disiapkan. Pertama, mengedarkan
uang redenominasi dan uang lama secara bersamaan. Kemudian ada kewajiban
pedagang mencantumkan dua label harga berbeda di pasar, harga lama dan harga
dengan nilai redenominasi.
"Jadi pada masa transisi sekitar tahun 2014 sampai
2018, kita menggunakan dua denominasi (mata uang) yang berbeda, dan di pasar
itu harus mencantumkan dua label harga (dual price tag). Lalu tahun 2019 sampai
2022, kita akan menggunakan mata uang baru yang telah diganti denominasinya.
Jadi prosesnya sangat panjang, bisa 8 tahun, bahkan 11 tahun dari masa
persiapan," jelasnya.
Agus menambahkan, bagi toko-toko yang tidak menyediakan dua
label harga (dual price tag) maka akan dikenakan sanksi. Namun, sanksi tersebut
akan ditentukan dalam pembahasan dengan DPR nanti. "Ini untuk masyarakat
supaya tertib supaya tidak buat kepanikan," cetus Agus.
Alasan Pemerintah 'Sulap' Rp 1.000 Jadi Rp 1.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjelaskan beberapa alasan
perlunya menyederhanakan angka nol dalam rupiah alias redenominasi mata uang.
Alasan utamanya adalah penyederhanaan dalam pencatatan keuangan atau sistem
akuntansi. Demikian disampaikan Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus
Suprijanto saat ditemui di kantornya , Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Jumat
(7/12/2012).
"Yang utama untuk menyederhanakan. Karena kalau dengan
denominasi yang besar menimbulkan inefisiensi dalam jual beli. Oleh karena itu,
perlu disederhanakan," ujarnya.Menurut Agus, dengan denominasi yang besar
maka terlihat nilai mata uang rupiah menjadi rendah di mata dunia. Untuk itu,
redenominasi dapat memberikan nilai tambah bagi kebanggaan bangsa.
"Padahal kita negara ke-16 dari size GDP. Masuk G-20.
Tidak pantas kalau US$ 1 jadi Rp 9 ribu sekian, sementara negara lain masih
satuan juga hitungannya. Ini memberikan rasa proud (bangga) atas mata uang kita
yg merupakan simbol stabilitas ekonomi suatu negara," jelasnya. Selain
itu, lanjut Agus, secara teknologi informasi, redenominasi mata uang ini sangat
dibutuhkan mengingat keterbatasan digit pada perangkat teknologi.
"Kalau denominasi terlalu besar dalam IT membutuhkan
memori yang besar dan banyak alat yang tidak cukup digitnya. Di modul
penerimaan negara yang ada di tempat saya saja, kita kekurangan digit. Jadi
kita harus menyicil memasukkannya dan itu jelas tidak efisien, itulah kenapa
perlu redenominasi," tegasnya.
Redenominasi merupakan proses penyederhanaan rupiah dengan
mengurangi angka nol. Dalam kajian BI beberapa waktu lalu, angka nol yang
'dihilangkan' paling tepat 3 digit. Jadi Rp 1.000 nanti akan menjadi Rp 1.
Namun semua masih dalam kajian yang akan dibawa ke DPR dalam bentuk RUU
Redenominasi.
0 komentar: